OBAT ALAMI

OBAT ALAMI

Ads

BERITA

Sunday, 28 August 2016

Benar Atau Tidak Hal tersulit adalah melarang ABG dan remaja tidak bermain game

Bolehkah remaja bermain game? ‘Sehat’ tidak, sih?


Rana serta Ben yaitu orang-tua dua remaja putra : Toni, kelas 2 SMP serta Julian baru kelas 1 SMP. Rana serta Ben keduanya sama bekerja.

Pagi jam enam mereka telah pergi serta jam delapan malam baru tiba lagi dirumah. Mereka sering dihinggapi perasaan bersalah lantaran kurang memerhatikan ke-2 putra mereka.

Sebagai kompensasi dari rasa bersalah, Rana serta Ben sediakan sarana komplit untuk Toni serta Julian, termasuk juga membelikan game console.

Suatu hari Ben pulang cepat dari kantor. Saat ia masuk ke rumah, Toni dan Julian sedang asyik bermain game. Awalnya, Ben tak memperhatikan. Ia sibuk hilir mudik, berganti pakaian ke kamar dan mencari cemilan di dapur.

Suara tembak-tembakan dan sumpah serapah (dalam Bahasa Inggris) yang keras dari game menarik perhatiannya. Ia kembali ke ruang tengah untuk melihat game seperti apa yang tengah dimainkan putra-putranya.

Betapa terkejutnya Ben, karena mereka sedang bermain Grand Theft Auto (GTA). Ben memang tak punya waktu bermain game, tapi ia tahu game semacam apa GTA. Yang jelas, GTA sebenarnya hanya boleh dimainkan oleh orang dewasa (17 tahun ke atas), tapi fakta dilapangan justru ada banyak anak di bawah umur yang getol memainkannya.

Ben juga tahu, konten GTA menampilkan kekerasan yang brutal, sumpah serapah, penggunaan narkoba, bahkan adegan seks terbuka.

“Lho lho lho, kok kalian main GTA sih?”

“Memang kenapa Pa?” tanya si bungsu, matanya tak lepas dari layar.

“Ini kan game buat orang dewasa.”

Si sulung menoleh ke arah ayahnya. “Lah, kemarin kata Papa boleh.”

“Hah? Masa sih?”

Ben lalu teringat, akhir pekan lalu saat jalan-jalan ke mal, putra-putranya meminta izin membeli game dengan uang celengan mereka sendiri. Ben langsung mengizinkan, tanpa mengecek game apa yang mereka beli. Ia pun menepuk jidatnya.

“Nggak apa-apa kok, Pa. Gamenya tembak-tembakan doang. Game lain juga begitu kok,” ucap si bungsu lagi, santai.
Ben kembali menepuk jidat.

Ayah Edy, bolehkah remaja bermain game?

Jawaban Ayah Edy:

Ayah Bunda yang sedang ‘tepuk jidat’

Anak boleh bermain game. Game adalah alat dan alat itu netral. Yang membuat tidak netral adalah jenis dan isi dari gamenya. Jenis-jenis game yang kontennya mengandung kekerasan dan pornografi tentu perlu mendapat perhatian khusus dari kita. Salah satunya, GTA. Grand Theft Auto

Namun bila ditanya apakah game kekerasan sama sekali tidak boleh dimainkan oleh remaja kita, saya pribadi sebenarnya menjawab tidak. Masalahnya, game –seperti juga gadget lainnya– tidak bisa dihilangkan. Bila kita melarang mereka bermain di rumah, mereka bisa mencari sendiri di luar. Apalagi, yang kita bicarakan di sini adalah remaja.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Saran saya, bermainlah bersama mereka. Jadi orangtua tidak hanya harus “TAHU DAN UPDATE” game apa yang dimainkan anaknya, tapi juga bermain bersama agar paham betul apa konten game ini.

Saat Ayah Bunda mendampingi anak bermain, Anda dapat menerjemahkan game itu pada anak dalam bentuk baik dan buruk. Jika anak bermain game tanpa pendampingan, ia akan memiliki respons dan pemaknaan sendiri. Namun bila kita dampingi, kita bisa mengarahkan bagaimana ia memaknai game itu. Itu pengalaman kami bersama anak-anak berhubungan dengan game-game yang berkembang saat ini.

Misalnya, ketika Ayah Bunda bermain game Counter Terrorist –game melawan teroris dan menyelamatkan sandera—Anda kemudian bisa berdiskusi dengan anak: Apa yang dimaksud dengan teroris, kenapa bisa ada teroris dan bagaimana pandangan kita dan ajarkan agar anak memilih pihak yang Counter Terorist dan bukan Terorisnya. Atau ketika melihat granat dan aneka senapan, kita juga bisa berdialog dengan anak soal jenis-jenis senjata dan bagaimana saja senjata itu digunakan oleh para polisi anti teror. Lalu bila anak menemukan kekerasan di kehidupan nyata, apa yang sebaiknya ia lakukan.

Dulu saya melarang anak-anak saya bermain game dengan unsur kekerasan. Namun saya pikir, kami tinggal di Indonesia, di negara nyata. Suatu saat, entah kapan, anak-anak saya pasti akan bertemu, melihat atau bahkan mengalami sendiri suatu bentuk kekerasan. Seperti yang baru-baru ini terjadi.

Orang mungkin heran mengapa Ayah Edy memperbolehkan putranya main game perang. Namun jika anak saya benar-benar terproteksi dan steril, saya takut ia kelak akan menjadi orang yang tidak paham tentang dunia nyata. Bermain game dengan pendampingan orangtua disertai dialog akan membuat anak mendapat gambaran utuh mengenai kekerasan dalam kehidupan nyata.

Harapan saya, kelak mereka tidak akan canggung melihat kekerasan bisa memberikan reaksi bela diri atau self defense system namun tdak ikut-ikutan melakukan kekerasan dan yang jauh lebh penting adalah anak kita kelak mau membela yang lemah dan benar dari korban kekerasan. Karena di zaman ini kebanyakan orang cenderung takut membela yang benar yang sedang menjadi korban kekerasan di tempat umum.

Setelah bermain game bersama, langkah selanjutnya adalah mengukur dampak game itu terhadap anak. Coba lihat, apakah game itu berhasil membangun defense system (sistem bertahan/membela diri) atau justru offense system-nya (sistem menyerang)?

Caranya mudah saja, perhatikan baik-baik apakah anak kita jadi lebih agresif, kasar atau mudah menyakiti. Bila ya, berarti game itu telah ‘mengalahkan’ anak kita.

Namun bila anak kita diganggu dan ia tak “mengkeret” dan berani membela diri, itu berarti defense system-nya yang terbentuk. Jangan remehkan kemampuan membela diri, Ayah Bunda.

Bila anak tak punya kemampuan ini, seperti yang terjadi adalah kasus anak TK di salah satu sekolah International yang mengalami pelecehan seksual. Anak itu terlatih untuk patuh dan menurut saya ia pasti tak pernah dilatih membela diri. Berbahaya, bukan?

Ujungnya adalah bagaimana membangun respons yang tepat dalam diri anak. Jadi jangan hanya bisa mencap, tapi pikirkan bagaimana menjadikannya sebagai proses pembelajaran bagi anak.

Supaya lebih mudah, adakah daftar game yang boleh dan tidak boleh?

Saya sering sekali mendapat pertanyaan ini. Menurut saya, ini pertanyaan yang seharusnya tak terlontar. Ayah Bunda sendiri sebagai orangtua yang lebih paham mana yang sudah bisa diberikan kepada anak dan mana yang belum. Setiap anak berbeda-beda. Saya tak mungkin pukul rata pada semua anak, walaupun usia dan jenis kelaminnya sama.

Yang perlu diperhatikan: Seperti layaknya virus, kekerasan punya tingkatan. Ketika kita kena virus flu, kita santai saja karena paham daya tahan tubuh kita bisa mengalahkannya. Namun bagaimana kalau kita terjangkit HIV atau virus ebola? Dalam menentukan game mana yang sudah boleh atau belum boleh untuk anak, sesuaikanlah dengan ‘daya tahan’ tubuhnya.

Ada remaja laki-laki 14 tahun yang mungkin sudah ‘tahan’ main game keras (tentu harus dengan pendampingan lagi karena sudah paham bahwa ia berada di pihak yang baik). Namun ada remaja lain yang seusia dan sesama lelaki yang mungkin belum bisa. Orangtualah yang punya sensitivitas untuk menentukannya.
Bagaimana bila kedua orangtua sibuk bekerja dan tak bisa mendampingi anak main game?

Tiap manusia punya waktu yang sama: 24 jam sehari. Jangan fokus pada ‘kapan tidak bisanya’, tapi fokuslah pada ‘kapan bisanya’. Tidak mungkin kalau Ayah Bunda sama sekali tak punya waktu. Bahkan orang sesibuk presiden pun punya waktu untuk keluarganya.

Bila Ayah Bunda hanya punya waktu di akhir pekan, ya bermainlah dengan anak di saat itu. Selain akhir pekan, berarti anak tak boleh bermain game tersebut. Jadi tak ada alasan ‘tak punya waktu’, bukan?

Inti dari semuanya adalah jika kita tidak mempu menemani dan menjadikan game2 yang kurang baik sebagai pelajaran untuk membangun self defense atau pertahanan diri anak sebaiknya jangan mengijinkannya main sendirian.

Bayangkan jika kita orang tua tidak menjadi sahabat bermain game bagi anak dan mereka mencari sendiri game2 yang “berbahaya” di warnet2 seperti ilustrasi foto di bawah ini ?

Semoga ini tidak terjadi pada anak kita dan anak-anak lainnya.

*sumber buku Ayah Edy Menjawab Problematika Orang tua ABG dan Remaja.