OBAT ALAMI

OBAT ALAMI

Ads

BERITA

Saturday 7 May 2016

Tahukah Anda All Inilah Penyebab Anak Berbohong dan Cara Mencegah Agar Tidak Menjadi Kebiasaan Bagi dirinya!!!

Sahabat Ummi, bermula dari suka melebihkan cerita atau menyembunyikan fakta, lama-lama berbohong bisa jadi kebiasaan. Untuk sesosok anak yang sering berbohong, andil orang-tua dan lingkungan nyatanya besar juga. Walau kadang, mereka tidak menyadarinya.

Satu saat dua anak asik bercengkerama. Salah seorang di antaranya menceritakan dengan penuh semangat : “Kemarin saya pergi sama Bapak ke Sea World, wah ikan disana banyak deh. ” Temannya selekasnya menimpali dengan ketertarikan yang setara dan tidak ingin kalah, “Aku juga telah pernah kesana. Disana memanglah ikannya banyaaak banget. Anda tau tidak disana ada juga putri duyung. Anda simak tidak? ”

Anak ke-2 yang menimpali sepenuh hati ini kenyataannya sekalipun belum pernah pergi ke Sea World. Ia cuma kerap membaca mengenai ikan laut dari buku. Ia lalu miliki bayangan bila disana banyak ikan, disana pasti ada putri duyung seperti yang ia baca dalam buku. Anak ini terang sudah berbohong dengan menyampaikan pernah pergi ke tempat yang belum pernah dikunjunginya. Tetapi, dia terasa lancar saja merangkai beberapa info yang berkesesuaian dengan bayangannya masalah apakah itu Sea World serta hasratnya untuk dapat menyamakan cerita rekannya.
Sri Rahmawati, Psi, Psikolog Q Consultan Komplek Daarul Abidin, mengatakan orang-tua perlu memiliki pengertian yang jelas tentang bohong dan dapat membedakannya dengan fantasi. Tahu pengertian ini utama untuk memahami fase berpikir anak. Lantaran pada salah satu tahapan perubahan anak umur 4 sampai 6 th., memang ada bagian yang namanya berpikir fantasi.

Dalam soal berbohong, anak tahu serta mengerti kalau apa yang disebutkan benar atau salah. Demikian sebaliknya, untuk fantasi tak. Dalam berfantasi, anak tak tahu apakah tindakannya itu benar atau salah. Jadi, saat anak ke-2 tadi menyampaikan di Sea World ada putri duyung seperti yang ada di buku narasi, ini pastinya adalah sisi dari impian anak-anak. Namun, menyampaikan ia pernah pergi ke Sea World walau sebenarnya belum pernah terang adalah kebohongan.

Terkecuali memikirkan fantasi, langkah memikirkan anak umur 4-6 th. juga masihlah begitu simpel. Mereka bahkan juga kerapkali mengkaitkan momen yang berlangsung diluar dianya dengan dianya. Contoh, waktu di tanya, “Kenapa langit berwarna biru? ” Jawabannya polosnya dapat berbunyi, “Karena biru itu warna yang saya sukai. ”

Kenapa bohong?

Penyebabnya anak berbohong sangat banyak. Pertama, membuat perlindungan diri (self defense). Bohong untuk argumen ini yaitu yang seringkali dikerjakan anak-anak maupun orang dewasa. Umumnya anak berbohong lantaran dia paham bila dia bicara yang sesungguhnya kelak bakal memperoleh hukuman dari orang-tua atau guru. Misalnya, agar tak memperoleh hukuman guru, anak menyampaikan buku PRnya ketinggal, walau sebenarnya ia belum kerjakan PR.

Umumnya anak yang sering berbohong untuk membuat perlindungan diri hidup di lingkungan yang juga sering mengaplikasikan hukuman yang keras. Jadi, untuk hindari hukuman, anak menutupi kenyataan dengan kebohongan.

Ke-2, berbohong untuk menampik mengaku (denial). Argumen ini sesungguhnya nyaris sama juga dengan self defense. Biasanya, dikerjakan anak dengan menampik untuk mengaku kebenaran. Umpamanya, anak menumpahkan tepung terigu serta mengotori meja dapur. Saat di tanya siapa yang menjatuhkan, anak menyampaikan tadi ada kucing lari yang menjatuhkan tempat terigu.

 Ketiga, berbohong untuk harga diri (ego strength) -nya. Misalnya, untuk membanggakan keluarganya anak menyampaikan, “Aku miliki mobil lima. ” Walau sebenarnya, sebenarnya tak seperti itu. Atau, seperti ilustrasi diatas, menyampaikan telah pernah pergi ke Sea World, walau sebenarnya belum pernah.

 Untuk dapat meneliti lebih dalam argumen bohong anak, orang-tua butuh lihat beberapa aspek yang lain. Seperti umur, step perubahan serta latar belakang perbuatan. Mengerti aspek itu begitu utama untuk tahu langkah perbaikan serta mencegahnya.

Step perubahan kognitif anak
Bohong pasti menimbulkan kerugian. Namun, sejauh mana nalar anak bisa menangkap sejauh mana kerugian yang timbul akibat berbohong? Pertanyaan ini lebih jelasnya bisa kita lihat dari teori perkembangan kognitif yang dirumuskan oleh salah seorang tokoh psikolog perkembangan anak yang sangat terkenal, Jean Piaget.

Fase pertama, anak berbohong karena mengakselerasikan bohong dengan hukuman. Ia menghubungkan dalam pikirannya, bahwa kalau seseorang berbohong, pasti dapat hukuman. Maka, pada tahap ini, kalau misalnya ada seorang anak yang berbohong tapi tidak mendapat hukuman, bagi anak itu bohong akan menjadi sesuatu yang boleh. Fase ini seperti terkait apa yang dilakukan dengan respons yang diterima menganggapnya menjadi kaitan yang erat. Kalau ada A pasti ada B, begitu B-nya tidak ada, ia menganggap berarti bohong itu boleh.

 Fase kedua, anak sudah bisa mengaitkan bahwa bohong adalah perbuatan yang salah. Untuk tujuan apa pun, bohong itu salah. Artinya, anak sudah mengasosiasikan perbuatan bohong itu salah. Pada tahapan kedua ini cara berpikir anak sudah bisa lebih kompleks.

Fase ketiga, biasanya menjelang usia 12 tahun. Pada fase ini anak sudah bisa memahami konsep yang lebih abstrak. Anak bisa mengaitkan bohong itu sebagai perbuatan yang tidak benar karena akan menimbulkan konflik, kerugian besar seperti merugikan orang lain, membuatnya tidak disukai teman, dan kehilangan kepercayaan dari teman-teman.

Menariknya, bila ditinjau dari proses perkembangan cara berpikir anak, diketahui bahwa tingkat kemampuan berbohong sebenarnya menunjukkan tingkat kecerdasan anak. Sebab, dengan berbohong, anak mampu menggunakan fakta yang ada untuk suatu hal yang berbeda dengan faktanya. Disinilah pentingnya penanaman nilai dalam keluarga agar perilaku anak diarahkan sesuai dengan nilai agama.

Jadilah model kejujuran

Setiap orangtua tentulah ingin agar anaknya jujur. Tapi, tanpa sadar mereka justru sering mendorong anaknya untuk berbohong. Misalnya saat sedang tak ingin menerima tamu, sementara tiba-tiba datang tamu yang ingin menemui orangtua, maka untuk menghindari tamu itu, ibunya menyuruh anaknya berbohong. “Bilangin ya, Ibu nggak ada.”

Penerapan model perilaku seperti itu tentu akan memberikan andil pada pembentukan kebiasaan bohong pada anak-anak. Anak akan berpikir, “Ibu kan ada, tapi aku diminta bilang nggak ada. Ibu bohong dong. Ibu saja bohong, jadi aku juga boleh bohong dong.,”

Maka, model perilaku yang benar dari orangtua menjadi sangat penting untuk membentuk kebiasaan berkata dan berperilaku jujur pada diri anak. Sri juga mengingatkan, untuk menanamkan nilai kejujuran secara kuat di dalam keluarga, maka nilai ini harus terus-menerus diulang, baik dengan contoh teladan maupun melalui cerita-cerita hikmah dan terus disosialisasikan.

Begitupun, jangan langsung panik ketika anak ketahuan berbohong. Sri Rahmawati menyarankan agar orangtua melakukan langkah berikut. Pertama, periksa terlebih dahulu apakah ucapannya itu fantasi atau bukan. Pada anak prasekolah, di saat cara berpikir mereka masih sangat sederhana seringkali ucapannya bukan bohong tapi fantasi. Namun, pada anak usia SD, dimana fantasi sudah mulai berkurang dan cara berpikirnya sudah lebih abstrak, maka kita perlu waspada. Apakah perbuatan atau perkataanya itu dilakukan untuk mengecoh orang lain atau untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Bila ada tujuan itu, maka perbuatan itu termasuk kategori berbohong dan harus diluruskan.

Kedua, berikan konsekuensi. Konsekuensi itu sangat penting agar anak tidak mengulang perbuatannya. “Orangtua harus tegas, kadang-kadang seringkali kebohongan kecil yang dilakukan anak tidak segera diluruskan orangtua, akhirnya jadi kebiasaan,” tegas psikolog yang tengah menyelesaikan studinya di pascasarjana UI ini. Sri menyontohkan, bila anak pulang sekolah membawa tempat pensil dan mengatakan bahwa itu adalah pemberian temannya, jangan langsung percaya? Segera cek, apakah benar pemberian teman ataukah milik temannya yang diambil? Bila dibiarkan, bisa jadi kebiasaan.

Sebenarnya konsekuensi dalam psikologi ini jadi tahap terakhir setelah model, pembiasaan, diskusi, baru ada hukuman. “Kalau langsung hukuman, biasanya internalisasi bahwa bohong itu salah bukan sesuatu yang melekat,” tutur ibu dari 5 orang anak ini.

Mengetahui alasan anak berbohong juga akan membantu orangtua dalam memberikan konsekuensi yang pas. Bila anak berbohong untuk melindungi temannya, maka kita perlu bersyukur bahwa di satu sisi, anak memiliki solidaritas yang baik. Namun, orangtua perlu menjelaskan agar anak tidak menganggap tindakan bohongnya dibenarkan dan boleh diteruskan. Jangan sampai karena takut mendapatkan hukuman, anak justru membuat kebohongan lain di balik kebohongannya. Kuncinya di sini adalah komunikasi antara orangtua dan anak harus berjalan baik tanpa sumbatan.

Tetapi yang paling penting, tanamkan selalu nilai kejujuran pada keluarga. Dan untuk itu, tak ada cara terbaik kecuali kita memulai dari selalu berkata dan berperilaku jujur pada diri sendiri. (Sarah Handayani/ wawancara: Rahmi)